Selasa, 30 Maret 2010

SHALAT DHUHA


Keutamaan Shalat Dhuha,

Dari Abu Dzarr radhiyallaHu 'anHu, Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam
bersabda,

"Bagi masing – masing ruas dari anggota tubuh salah seorang diantara kalian
harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah
sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh
untuk berbuat baik pun sedekah dan mencegah kemungkaran juga sedekah. Dan
semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha" (HR.
Muslim no. 720)

Dari Abu Hurairah radhiyallaHu 'anHu, ia berkata,

"Tidak ada yang memelihara shalat dhuha kecuali orang – orang yang kembali
kepada Allah (awwaabiin)" (HR. Ibnu Khuzaimah II/228, al Hakim dalam al
Mustadrak I/314 dan lainnya)

Hukum Shalat Dhuha,

Shalat dhuha pada waktu dhuha (pagi hari) merupakan hal yang baik lagi disukai
(Majmuu' al Fataawaa XXII/284 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah). Namun tidak
ada riwayat yang menunjukkan kewajiban shalat dhuha.

Waktu Shalat Dhuha,

Waktu shalat dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan
waktu yang terbaik untuk mengerjakan shalat dhuha adalah pada saat matahari
terik. Dari Zaid bin Arqam, Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam bersabda,

"Shalat awwaabiin (orang – orang yang kembali kepada Allah) adalah ketika anak
– anak unta sudah merasa kepanasan" (HR. Muslim no. 748)

Jumlah Raka'at Shalat Dhuha,


Disyari'atkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat dhuha dua, empat,
enam, delapan atau dua belas raka'at berdasarkan hadits – hadits shahih dan
hasan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama.

Dari Abu Darda' dan Abu Dzar radhiyallaHu 'anHuma, dari Rasulullah ShallallaHu
'alaihi wa sallam, Allah Ta'ala berfirman,

"Wahai anak Adam, ruku'lah untuk-Ku empat raka'at di awal siang, niscaya Aku
mencukupimu di akhir siang" (HR. at Tirmidzi no. 475 dan Ahmad dalam al Musnad
VI/440, dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahiih Sunan at Tirmidzi I/147)

Dari Anas bin Malik radhiyallaHu 'anHu, ia berkata,

"Bahwa Nabi pernah mengerjakan shalat dhuha enam raka'at" (HR. at Tirmidzi no.
273, hadits ini shahih lighairiHi, lihat Irwaa-ul Ghalil II/216 oleh Syaikh al
Albani)

Dari Ummu Hani radhiyallaHu 'anHa, ia berkata,

" … Selanjutnya Fathimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya ke
beliau, setelah itu beliau shallallaHu 'alaiHi wa sallam mengerjakan shalat
dhuha delapan raka'at" (HR. al Bukhari no. 1176 dan Muslim no. 336)

Dari Abu Darda' radhiyallaHu 'anHu, Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam
bersabda,

"Barangsiapa mengerjakan shalat dhuha dua raka'at maka dia tidak ditetapkan
termasuk orang – orang yang lengah. … Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua
belas raka'at maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga" (HR.
al Haitsami dalam Majma'uz Zawaa-id II/237, dihasankan oleh Syaikh al Albani
dalam Shahiih at Targhib wat Tarhiib I/279)

Maraji' :

Meneladani Shalat – shalat Sunnah Rasulullah, Syaikh Muhammad bin Umar bin
Salim Bazmul, Pustaka Imam asy Syafi'i, Bogor, Cetakan Kedua, Rabi'ul Awal 1425
H/April 2004 M.

Untuk masalalah niat berikut penjelasannya :


Niat adalah tekad untuk mengerjakan suatu ibadah dengan maksud untuk
mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Oleh karena itu, shalat tidak sah jika
tidak dibarengi dengan niat.

Para ulama sepakat bahwa niat merupakan syarat sahnya shalat (ad Dasuqi I/232,
Mugnil Muhtaj I/148, Bidayah al Mujtahid I/67 dan Kasyaf al Qanna' I/313).

Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam bersabda,

"Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang
mendapatkan apa yang diniatkannya" (HR. al Bukhari dan Muslim)

Letak niat semua peribadahan termasuk shalat adalah di dalam hati, bukan di
lidah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Tak seorang pun
pernah menukil dari Nabi maupun dari salah seorang sahabatnya, bahwa beliau
melafalkan niat sebelum bertakbir, baik dengan suara pelan maupun jahr, dan
beliau juga tidak pernah memerintahkan hal itu"

Melafalkan niat ketika shalat adalah perbuatan bid'ah, dan tidak ada seorang
pun yang mengatakan bahwa melafalkan niat adalah mustahab (sunnah).
Barangsiapa yang berpendapat bahwa melafalkan niat adalah sunnah, berarti dia
telah menyelisihi sunnah Rasulullah ShallallaHu 'alaiHi wa sallam dan ijma'
empat imam serta selainnya (Lihat Majmu' Fatawa XXII/233 oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah).

Juga di Kitab Zaadul Ma'aad (I/51) oleh Ibnul Qayyim rahimahullah, dijelaskan
bahwa melafalkan niat adalah bid'ah. Tidak seorang pun meriwayatkannya dengan
sanad shahih atau dha'if, musnad ataupun mursal. Tidak satu lafazh pun. Tidak
dari salah seorang sahabat beliau dan tidak pula dianggap baik oleh tabi'in
atau pun Imam yang empat.

Source :
http://www.mail-archive.com/assunnah@yahoogroups.com/msg09358.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar